A.
Latar
Belakang
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh)
merupakan salah satu kebutuhan bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas
Syariah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah
dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak lain karena
kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti
materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan
kitab fiqh.
Jika kita lihat, sejarah
perkembangan hukum Islam (tarikh al-tasyri’ al-islami) tidak menguraikan qawaid
fiqhiyyah secara komperhensif (menyeluruh). Kitab-kitab sejarah perkembangan hukum
Islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah, apalagi sampai menjelaskan kegunanaan
(urgensi) dan kedudukannya dalam hukum Islam. Dengan demikian, penelusuran
terhadap sejarah pertumbuhan, perkembangan dan pengkodifikasian qawaid
fiqhiyyah sangat penting dilakukan. Penelusuran tersebut, sedikit banyak
akan dapat memberikan kejelasan tentang kegunaan (urgensi) dan kedudukan qawaid
fiqhiyyah dalam hukum Islam. Begitu juga, tentang latar belakang sejarah
perkembangan hukum Islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah secara
menyeluruh.
Untuk itu di sini penulis sedikit
banyak akan menerangkan mengenai sejarah dari qawaid fiqhiyyah yang mencakup
pembentukan, perkembangan, kodifikasi serta menyempurnaan qawaid fiqhiyyah.
B.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMABAHASAN
A.
Pengertian
Qowaidul Fiqiyah
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya,
kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu
tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh,
kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Artinya :”Allah akan
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi
kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang biasa berlaku
yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan
arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak
dipahami, yaitu :
Artinya
: ”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat :
122)
Dan
juga Sabda Nabi SAW, yaitu : “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah
niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama”.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang
diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian
diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui
hukum-hukum cabang itu”.
B.
Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan
Qawaid fiqhiyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan
qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam fase berikut:
1.
Fase Pertumbuhan
dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan
pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman
kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah
hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.
a) Zaman
Nabi Muhammad saw
Berlangsung selama 22 tahun lebih
(610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang
berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M,
dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab.
Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang
mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah
mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri
kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat
ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut,
ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan
kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak
zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami
al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
Ø Segi sumber
: Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak
mengandung al-Mustasnayat.
Ø Segi cakupan
makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya
ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW
yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
1. الخرج
بالضمان (hak
menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2. العجماء
جرحها جبار (
kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti
rugi), dll.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah
menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’
al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu
yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak
membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman.
Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu hokum meminum minuman yang
memabukkan adalah haram.
b) Zaman
Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah
fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk
kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan
mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun
berkenaan dengan mereka.
Atsar (pernyataan) sahabat yang
dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid fiqhiyyah diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Pernyataan
Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam
kitabnya Shahih al-Bukhari: مقاطع الحقوق
عند الشروط (penerimaan
hak berdasarkan kepada syarat-syarat).
2. pernyataan
Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :من قاسم
الزبح فلا ضمان عليه (orang
yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas
menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah
yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
c) Zaman
Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Diantara ulama yang mengembangkan
kaidah fiqh pada generasi tabi’in:
Ø Abu Yusuf
Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah
yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli
waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan
pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam
dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal
dunia tidak memiliki ahli waris.
Ø Ulama
berikutnya yang mengembangkan fikih Imam Asy-Syafi’i,
pada fase kedua abad kedua hijriah
(150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu ”Sesuatu yang dibolehkan
dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam
kitabnya al-Umm, diantaranya الأعظم اذا
سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).
Ø Ulama
berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Diantara kaidah yang dibangun
oleh Imam Ahmad bin Hambal yang abu Daud dalam kitabnya
al-Masail, yaitu :
كل ما جاز
فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن
”Setiap yang dibolehkan untuk
dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Ø Ulama
berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang
mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats
(batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik
ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta
keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga
ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau
muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah
hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan
shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas
seperti kaidah: اليقين لا يزول بالشك (keyakinan tidak dapat
menghilangkan keraguan) .
2.
Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi
disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus
berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid
mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh
dalam madzhab. Dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang
telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil
beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab sepertinya
telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi
setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan
dan menjawab persoalan-persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para
ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama
mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum
furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang
dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul
al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar
dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah
fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh ,
disebut dhabit.
Menurut DR. An Nadwi bahwa golongan
Hanafiah merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqhiyah.
Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa
literatur diantaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911
H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam al qawaidmenyatakan bahwa Imam Ad
Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab
Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang
kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil
dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut.
Imam al Karkhi (340 H) menyusun
sebuah catatan yang berisi 37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul
Imam al Khusyni (361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan
setelah itu muncul Abi Laits Al Samarqandi (373 H) dengan
karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid
Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
Bisa dikatakan bahwa abad 4 H
merupakan fase kedua dari kemunculan kaidah fiqhiyah dengan asumsi
pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah sebagai sebuah
disiplin ilmu.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah
mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk
dikatakan matang. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini
adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia
menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian
al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab
Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis
“al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini
menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad
ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi
sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid
fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya
kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada
penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan
Taqiyuddin al-Hishni.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1.
Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu
al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
2.
Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari
al-Maliki (w. 758 H)
3.
Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt
al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
4.
Dll
Karya-karya besar yang mengkaji
qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya
abad sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
1.
Kitab al-Qawa’id karya Ibnu
al-Mulaqqin (w. 840 H)
2.
Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id
karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
3.
Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin
al-Hishni (w. 829 H)
4.
Dll
Dengan demikian, ilmu qawaid
fiqhiyah berkembang secara berangsur-angsur.
Pada abad X H, pengkodifikasian
qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha
mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki
dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya
al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih
mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid
fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid
fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan
munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu
ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.
C. Masa Pemantapan dan Pensistematisan Qawaid Al-Fiqhiyyah
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa
perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya tibalah pada
penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan
pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah.
Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di bukukan
dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa Mahkamah
pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir
abad ke-13 H
Pengkodifikasian Qawa’id Fiqhiyyah
mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite
(lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876
M) pada akhir abad 13 H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan
lembaga-lembaga peradilan pada masa itu. Kitab Majallat al-Ahkam
al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan
penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan
merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun
kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh,
lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari
sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah
fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam
proses penalaran hukum fiqh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Artinya :”Allah akan
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
(Q.S. An-Nahl : 26)
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi,
perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam tiga fase berikut:
1.
Fase Pertumbuhan
dan Pembentukan
2.
Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa
perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya tibalah pada penyempurnaan
qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya. Periode ini ditandai dengan munculnya kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah.
Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di bukukan
dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa Mahkamah
pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir
abad ke-13 H
DAFTAR PUSTAKA
A.Rahman, Asymuni. 1976, Qaidah-Qaidah
Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang
Ahmad
Sudirman,2004,Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah,
Jakarta,Radar Jaya Offset
Djazuli, HA. 2006. Kaidah-kaidah
fiqh. Jakarta : kencana.
Usman, Muslih. 1999. Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta : Rajawali Pers.