pimpinan

pimpinan

Tuesday, March 24, 2015

Perkembangan dan Petumbuhan Qowaidul Fiqhiyah

A.    Latar Belakang
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) merupakan salah satu kebutuhan bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak lain karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan kitab fiqh.
Jika kita lihat, sejarah perkembangan hukum Islam (tarikh al-tasyri’ al-islami) tidak menguraikan qawaid fiqhiyyah secara komperhensif (menyeluruh). Kitab-kitab sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah, apalagi sampai menjelaskan kegunanaan (urgensi) dan kedudukannya dalam hukum Islam. Dengan demikian, penelusuran terhadap sejarah pertumbuhan, perkembangan dan pengkodifikasian qawaid fiqhiyyah sangat penting dilakukan. Penelusuran tersebut, sedikit banyak akan dapat memberikan kejelasan tentang kegunaan (urgensi) dan kedudukan qawaid fiqhiyyah dalam hukum Islam. Begitu juga, tentang latar belakang sejarah perkembangan hukum Islam tidak mengkaji qawaid fiqhiyyah secara menyeluruh.
Untuk itu di sini penulis sedikit banyak akan menerangkan mengenai sejarah dari qawaid fiqhiyyah yang mencakup pembentukan, perkembangan, kodifikasi serta menyempurnaan qawaid fiqhiyyah.
B.     Rumusan Masalah


BAB II
PEMABAHASAN
A.    Pengertian Qowaidul Fiqiyah
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah fiqh diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan. Dalam studi ilmu kaidah fiqh, kita kita mendapat dua term yang perlu dijelaskan, yaitu kaidah dan fiqh.
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Artinya :”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah : ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan : ”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.
Sedangkan arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
Artinya : ”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”  (Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu : “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama”.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci). Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah : ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”. 


B.     Sejarah Perkembangan dan Pertumbuhan Qawaid fiqhiyah
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam fase berikut:
1.      Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan  berlangsung  selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman.
a)      Zaman Nabi Muhammad saw
Berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
Ø  Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat.
Ø  Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu :
1.      الخرج بالضمان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
2.      العجماء جرحها جبار ( kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan , dengan hadits jawami’ al-kalim (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan mengacaukan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad SAW, yaitu hokum meminum minuman yang memabukkan adalah haram.
b)      Zaman Sahabat
Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ al-kalim dan qawaid fiqhiyyah diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: مقاطع الحقوق عند الشروط (penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat).
2.      pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :من قاسم الزبح فلا ضمان عليه (orang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian).
Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah.
c)      Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun.
Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in:
Ø  Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182)
Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ø  Ulama berikutnya yang mengembangkan fikih Imam Asy-Syafi’i,
pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu ”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, diantaranya الأعظم اذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur).
Ø  Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H),
Diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu :
كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن
Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
Ø  Ulama berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H),
Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). Pernyataan al-Syaibani tersebut di atas seperti kaidah: اليقين لا يزول بالشك (keyakinan tidak dapat menghilangkan keraguan) .
2.      Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap terkotak-kotaknya fiqh dalam madzhab. Dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit.
Menurut DR. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur diantaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam al qawaidmenyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut.
Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi Laits Al Samarqandi (373 H)  dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan.
Bisa dikatakan bahwa abad 4 H merupakan fase kedua dari kemunculan kaidah fiqhiyah dengan asumsi pada abad inilah ditemukannya kaidah fiqhiyah sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.
Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah:
1.            Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)
2.            Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3.            Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H)
4.            Dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
1.            Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
2.            Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w. 808 H)
3.            Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H)
4.            Dll
Dengan demikian, ilmu qawaid fiqhiyah berkembang secara berangsur-angsur.
Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-Suyuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-subaki dan al-zarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhai. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fase perkembangan dan pembukuan. Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah.

C.     Masa Pemantapan dan Pensistematisan Qawaid Al-Fiqhiyyah
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya  tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya.  Periode ini  ditandai dengan munculnya  kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H
Pengkodifikasian Qawa’id Fiqhiyyah mencapai puncaknya ketikan disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad 13 H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.  Kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah, yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan pengumpulan dan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, adalah suatu prestasi yang gemilnag dan merupakan indikasi pada kebangkitan fiqh pada waktu itu. Para tim penyusun kitab itu sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstruknya dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumya. Kitab Majalllat al-Ahkam al-‘Adliyyah inilah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki posisi yang sangat penting dalam proses penalaran hukum fiqh.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
Artinya :”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyah dapat dibagi kedalam tiga fase berikut:
1.      Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
2.      Fase Perkembangan dan Kodifikasi
Setelah melewati masa pertumbuhan, masa perkembangan dan masa kodifikasi akhirnya  tibalah pada penyempurnaan qaidah fiqih yang dilakukan oleh para pengikut dan pendukungnya.  Periode ini  ditandai dengan munculnya  kitab Majallah al Ahkam al Adliyyah. Melalui pengumpulan dan penyeleksian kitab-kitab fiqih yang kemudian di bukukan dan di gunakan sebagai sumber acuan dalam menetapkan hukum di beberapa Mahkamah pada masa pemerintahan Sultan Al Ghazi Abdul Aziz Khan al Utsmani pada akhir abad ke-13 H



DAFTAR PUSTAKA

A.Rahman, Asymuni.  1976, Qaidah-Qaidah Fiqh. cet. 1. Jakarta: Bulan bintang
 Ahmad Sudirman,2004,Sejarah Qawa’id  Fiqhiyyah, Jakarta,Radar  Jaya Offset
Djazuli, HA. 2006. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta : kencana.
Usman, Muslih. 1999. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta : Rajawali Pers.

Pembagian Fi'il Mu'tazilah



A.    Pengertian Fi’il Shahih dan Mu’tal
Dipandang dari segi jenis hurufnya fiil terbagi menjadi dua, yaitu :
1.      Fi’il Shahih
Fiil shahih adalah fiil yang dalam susunan hurufnya tidak terdapat salah satu dari huruf ‘illat, yaitu alif,waw,dan ya’.
Contoh : {ذَهَبَ- يَذْهَبُ}

2.      Fi’il Mu’tal
Fi’il mu’tal adalah fiil yang huruf aslinya termasuk huruf ilat.
Contoh : {قَالَ-يَقُولُ }

B.     Pembagian fiil shahih
Fiil shahih terbagi menjadi tiga, yaitu :
1.      fiil shahih salim
adalah semua fiil yang huruf aslinya tidak terdapat hamzah, tadh’if (tanwin),atau huruf ‘illat.
Contohnya : { ذَهَبَ- يَذْهَبُ ، ضَرَبَ- يَضْرِبُ ، عَمِل- يَعْمَلُ }
2.      fiil shahih mahmuz
yaitu semua fiil yang salah satu huruf aslinya adalah hamzah,baik di awal huruf fiil,ditengah,ataupun diakhir huruf fiil.
Contoh : {أَكَلَ-يَأْكُلُ ، سَأَلَ-يَسْأَلُ ، قَرَأَ يَقْرَأُ }
Apabila hamzah diawal fiil,maka disebut mahmuz fa’ dan hamzahnya tidak berubah ketika berubah menjadi fiil mudhori’.
 Apabila hamzah ditengah,maka disebut.dan hamzahnya tidak berubah dalam mudhori’nya.
 Apabila hamzah diakhir,maka disebut dan hamzah tetap pada mudhori’ dan amrnya.
3.      fiil shahih mudho’af
yaitu semua fiil yang hurufnya shahih,tetapi dua huruf diantaranya sama.
Contoh : {مَدّّ- يَمُدُّ ، فَرَّ – يَفِرُّ شَدَّ- يَشُدُّ }

C.    Fi’il Mu’tal
Fiil Mu’tal terbagi 3  :
1.      Mu’tal Mitsal           : Fiil yang huruf illatnya di awal. Contoh : {وَعَدَ- يَعِدُ}
2.      Mu’tal Ajwaf           : Fiil yang huruf illatnya ditengah. Mu’tal ajwaf terbagi 3.
a.       huruf illatnya berupa wawu ( و).Contoh : {كَانَ- يَكُونُ}
b.      huruf illatnya berupa ya (ي ). Contoh : {سَارَ- يَسِيْرُ }
c.       huruf illatnya berupa alif (ا). Contoh : {نَامَ -يَنَامُ}
3.      Mu’tal Naqhis          : Fiil yang huruf illatnya diakhir kata.  Mu’tal Naqhis terbagi 3:
a.       huruf illatnya berupa wawu (و ).Contoh : {غَزَى – يَغْزُو}
b.      huruf illatnya berupa ya ( ي). Contoh : {رَمَى – يَرْمِي}
c.       huruf illatnya berupa alif (ا). Contoh : {رَضِيَ – يَرْضَى}
Keterangan : Beberapa fiil mu’tal perubahannya berbeda dengan fiil shohih, oleh kerena itu, setelah kita menghafal rumus fiil Shohih Madhi ataupun mudhore, maka kita harus menghafal kaidah-kaidah perubahan fiil mu’tal.
Kaedah-kaidah perubahan fiil mu’tal :
1-          fiil mu’tal mitsal perubahannya sama dengan fiil shohih
2-          fiil ajwaf wawu( و) perubahannya adalah ketika fiil madhi pada domir(kt.ganti) {هُنّ} s/d {نَحْنُ} adalah membuang huruf illat dan mengganti harakat huruf pertama menjadi dommah. Contoh : {قَالَ }
قَالَ
قَالاَ
قَالُوا
قَالَتْ
قَالَتَا
قُلْنَ
قُلْتَ
قُلْتُمَا
قُلْتُمْ
قُلْتِ
قُلْتُمَا
قُلْتُنَّ
قُلْتُ
قُلْنَا
هُوَ
هُمَا
هُمْ
هِيَ
هُمَا
هُنَّ
أَنْتَ
أَنْتُمَا
أَنْتُمْ
أَنْتِ
أَنْتُمَا
أَنْتُنَّ
أَنَا
نَحْنُ
3-          fiil ajwaf ya (ي ) dan alif (  ا)perubahannya adalah ketika fiil madhi pada domir(kt.ganti) {هُنّ} s/d {نَحْنُ}adalah membuang huruf illat dan mengganti harakat huruf pertama menjadi kasroh. Contoh : {نَامَ }
نَامَ
نَامَا
نَامُوا
نَامَتْ
نَامَتَا
نِمْنَ
نِمْتَ
نِمْتُمَا
نِمْتُمْ
نِمْتِ
نِمْتُمَا
نِمْتُنَّ
نِمْتُ
نِمْنَا
هُوَ
هُمَا
هُمْ
هِيَ
هُمَا
هُنَّ
أَنْتَ
أَنْتُمَا
أَنْتُمْ
أَنْتِ
أَنْتُمَا
أَنْتُنَّ
أَنَا
نَحْنُ
4-          fiil naqhis perubahannya adalah ketika fiil madhi pada domir(kt.ganti) {هُمْ} s/d {هِيَ} adalah membuang huruf illatnya. Contoh :
رَئَى
رَئَيَا
رَئَوا
رَئَتْ
رَئَيَتَا
رَئَيْنَ
رَئَيْتَ
رَئَيْتُمَا
رَئَيْتُمْ
رَئَيْتَ
رَئَيْتُمَا
رَئَيْتُنَّ
رَئَيْتُ
رَئَيْنَا
هُوَ
هُمَا
هُمْ
هِيَ
هُمَا
هُنَّ
أَنْتَ
أَنْتُمَا
أَنْتُمْ
أَنْتِ
أَنْتُمَا
أَنْتُنَّ
أَنَا
نَحْنُ
5-          fiil madhi naqhis yang huruf illatnya tidak berharokat seperti {غَزَى ، رَئَى} maka harakat  fiil madhi pada domir(kt.ganti) {هُمْ}adalah  fathah. Contoh : {غَزَوا، رَئَوا } kecuali fiil madhi naqhis  yang huruf illatnya berharokat seperti {رَضِيَ ، نَسِيَ} maka fiil madhi pada domir(kt.ganti) {هُمْ}adalah  dommah. Contoh : {رَضُوا ، نَسُوا }
6-          fiil naqhis perubahannya adalah ketika fiil Mudhore pada domir(kt.ganti) {هُمْ} dan {أَنْتُمْ} adalah membuang huruf illatnya. Contoh :
يَغْزُو
يَغْزُوَانِ
يَغْزُوْنَ
تَغْزُو
تَغْزُوَانِ
يَغْزَوْنَ
تَغْزُو
تَغْزُوَانِ
تَغْزُوْنَ
تًَغْزُوِيْنَ
تَغْزُوَانِ
تَغْزَوْنَ
أَغْزُو
نَغْزُو
هُوَ
هُمَا
هُمْ
هِيَ
هُمَا
هُنَّ
أَنْتَ
أَنْتُمَا
أَنْتُمْ
أَنْتِ
أَنْتُمَا
أَنْتُنَّ
أَنَا
نَحْنُ




      Kesimpulan
Ilmu sharaf merupakan ilmu yang mempelajari tentang perubahan ditengah kata dalam bahasa Arab. Dalam kata di bahasa Arab,terdapat huruf-huruf yang menyusunnya sehingga menjadi sebuah kata yang bermakna. Huruf-huruf tersebut ada yang dinamakan huruf shahih dan huruf ‘ilat. Huruf shahih merupakan huruf yang tidak menyebabkan sulitnya atau beratnya dalam membaca kata bahasa Arab, sedangkan huruf ‘ilat merupakan huruf yang dapat membuat kata tersebut menjadi kurang sempurna dari segi tulisan maupun bacaan sehingga dapat membuatnya berbeda dari kaidah asalnya.           
Dalam hal ini, fi’il terbagi menjadi fi’il shahih dan mu’tal. Kedua fi’il tersebut juga mempunyai pembagian tersendiri dilihat dari huruf-huruf yang menyusunnya. Fi’il-fi’il tersebut memiliki kaidah-kaidah yang mempunyai ketentuan masing-masing sesuai dengan pengucapan orang Arab.