BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Mengkaji filsafat Islam tidaklah semudah membalikkan tangan. Karena di dalam
mempelajari filasafat Islam terdapat muatan historis dan teologis. Secara
historis, tarik-menarik kepentingan bahwa orisinalitas filsafat berasal dari
Yunani atau Islam adalah problem fakta yanmg tidak dapat dihindari.
Di samping itu banyaknya filosof-filosof, baik Barat maupun Islam yang memiliki
pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami filsafat. Sehingga tidak dapat
dipungkiri lagi banyak bermunculan filosof-filosof di berbagai belahan dunia
dan memiliki pemahaman sendiri-sendiri tentang filsafat. Di kalangan umat Islam
sendiri juga terjadi hal-hal yang semacam itu. sehingga antara para
filosof, ada sebagian yang menguatkan pendapat yang lain, tetapi ada juga yang
menyangkal bahkan menganggap keliru pendapat filosof yang lain.
Dalam makalah ini kami akan mencoba menjelaskan tentang salah satu filosof
Islam, yaitu Imam al-Ghazali, beliau yang menentang tentang teori emanasi yang
ditawarkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina serta filosof-filosof Islam lainnya.
B. Rumusan masalah
1.
Biografi al-Ghazali
2.
Karya-karya al-Ghazali
3.
Pemikiran al-Ghazali
4.
Filsafat al-Ghazali
C. Tujuan pembahasan
Mengetahui
tentang biografi, karya-karya, pemikiran, dan filsafat Al-Ghazali. Selain itu
juga pendapat al-Ghazali tentang Qodimnya alam, iradat Tuhan, kebangkitan
jasmani, metafisika dan pandangan al-ghazaliu tentang etika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup Imam Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Thusi
al Ghazali. Beliau lahir pada tahun 1058 M/450 H di kota
Ghazalah, sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan, yang pada saat itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. dan beliau
meninggal di kota Thus pada tahun 1111 M/ 14 Jumadil
Akhir 505 H pada umur 52–53 tahun, setelah mengadakan perjalanan untuk
mencari ilmu dan ketenangan batin. Beliau adalah seorang pemikir Islam
sepanjang sejarah Islam, filosof dan teolog dan sufi termasyhur. Nama
al-Ghazali dan at-Thusi dinisbahkan pada tempat kelahirannya.[1]
Ayah Al-Ghazali adalah seoarang wara’ yang hanya makan dari
usaha tangannya sendiri. Pada waktu senggangnya, ia selalu mendatangi
tokoh-tokoh agama dan para ahli Fiqh di berbagai majlis dan khalawat mereka
untuk mendengarkan nasihat-nasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan
sifat-sifat ayah Al-Ghazali ini tidak banyak ditulis orang, kecuali
pengabdiannya pada para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.
Sang ayah wafat ketika Al-Ghazali dan saudaranya (Ahmad) masih dalam usia
anak-anak. Ketika hendak wafat ayahnya berwasiat kepada teman dekatnya dari
ahli sufi untuk membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia berkata: “saya sangat
menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu
terwujud pada kedua anak saya ini, maka didiklah keduanya dan pergunakanlah
sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk mengurus keperluannya.”[2]
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus, Ia belajar ilmu fiqh
pada salah satu ulama bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razakani. kemudian
meneruskan di kota Jurjan, Al-Ghazali mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan
oleh gurunya. Ia sendiri menulis suatu komentar tentang ilmu fiqh. Akan tetapi,
di tempat ini mengalami musibah. Semua barang yang dibawa Al-Ghazali yang
berisi buku-buku catatan dan tulisannya dirampas oleh para perampok, meskipun
pada akhirnya barang-barang tersebut dikembalikan setelah Al-Ghazali berusaha
keras untuk memintanya kembali.
Kejadian tersebut mendorongnya untuk menghafal semua pelajaran yang telah
diterimanya. Akan tetapi pengetahuan-pengetahuan yang ia dapat di Thus, agaknya
dirasa tidak cukup untuk membekali dirinya. Kemudian ia pergi ke Naisaburi,
salah satu kota ilmu pengetahuan terkenal di zamannya. Di sini ia belajar
ilmu-ilmu yang yang populer pada saat itu, seperti belajar tentang madzhab-madzhab
fiqh, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika, dan ilmu-ilmu agama yang lain
kepada Imam Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini.
Pada masa itu dan dalam tahun-tahun berikutnya, sebagai seorang
mahasiswa, al-Ghazali sangat mendambakan untuk mencari pengetahuan yang
dianggap mutlak benar, yakni pengethuan yang pasti, yang tidak salah dan tidak
diragukan sedikitpun sehingga kepandaiannya dan keahliannya dalam berbagai ilmu
dapat melebihi kawan-kawannya. Al-Ghazali belajar di Naisaburi hingga Imam
Haramain wafat pada tahun 478H/1085M.[3]
B.
Karya-karya al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang
sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi
pembesar negara di Mu’askar maupun ketika menjadi profesor di Baghdad, baik
sewaktu skeptis di Naisaburi maupun setelah berada dalam perjalanan mencari
kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali
terus berusaha menulis dan mengarang.[4]
Karangan al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah. Karangan-karangannya
meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (theologi
Islam), fiqh (hukum Islam), tasawuf, akhlak, dan autibiografi. Sebagian besar
karyanya adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Parsi.[5]
Di antara karangannya ada beberapa kitab yang kurang mendapatkan
perhatian dikalangan ulama Indonesia. Namun sangat dikenal oleh negeri Barat.
Di antaranya buku- akal bagaikan makanan (tujuan para ahli filsafat) dan Tahafut
Al Falasifah (keberantakan para filosof).
Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin, yang artinya
menghidupkan ilmu-ilmu agama, yang dikarangnya selama beberapa tahaun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz dan Yus, dan berisi
panduan indah antara fiqh, tasawuf, dan falsafah, yang mana buku ini tidak
hanya dikenal dikalangan kaum muslimin, tetapi didunia barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dhalal (penyelamat dari
kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pemikiran dan mencerminkan sikapnya
yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan.
Di antara penulis-penulis modern juga banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali
dalam menuliskan auto biografinya.
Mengenai karangan al-Ghazali ini, ada penentangan dari kalangan fuqaha
dan tasawuf, diantaranya adalah Ibnu Rusyd, hal ini adalah dikarenakan
penentanga al-Ghazali terhadap para filosuf Islam, bahkan ia sampai
mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu:
1.
Penginkaran terhadap kebangkitan jasmani
2.
Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja
3.
Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya
Penentangan ini termuat dalam kitabnya yang terkenal, yaitu: Tahafut
al-Falasifah dan al-Muqidz min ad-Dhalal, Akan tetapi dalam bukunya
yang lain, yaitu Mizan al-Amal,dikatakan bahawa ketiga persoalan
tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya al-Madhnun
‘Ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam. Dan dalam bukunya ang lain, Mi’raj
as-Shalikin ia menentang orang-orang tasawuf yang mengatakan hanya ada
kebangkitan rohani saja. Jadi Ghazali menentang 3 hal tersebut dalam
beberapa bukunya, namun al-Ghazali mempercayai juga dalam buku-bukunya yang
lain.[6]
Pengenai perbedaan ini para pembahas memiliki penafsiran yang
berbeda-beda. Menurut Ibnu Tuffail perlawana tersebut merupakan suatu
kontradiksi yang benar-benar dari pemikiran al-Ghazali.menurut Ibnu Shalah,
karena al-Ghazali dari golongan ahlussunnah, maka pikiran-pikiran dari bukunya
yang berlawana dari aliran ini di anggap bukan dari al-Ghazali, seperti Madhnun
'Ala Ghairi ahlihi.
Menuruat Dr. Zaki Mubarakdalam bukunya al-Akhlaqin al-Ghazali,
perbedaan pendapat tersebut karena perkembangan pikiran al-Ghazali, mulai dari
seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya , meningkat
menjadi guru yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan
menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang
membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.
Karya karya al-Ghazali tidak diperuntukkan kepada masyarakat secara umum,
tetapi ada klasifikasinya. Ada yang diperuntukkan kepada orang-orang ahli
tasawuf dan ada pula kepada pencinta etika, oleh karena itu karya-karyanya ada
yang berbeda antara yang stu dengan yang lainnya.
C.
Pemikiran al-Ghazali
Filsafat al-Ghazali dapat tergambarkan dari masa hidup al-Ghazali yang
pada saat itu berbagai macam aliran agama dan filsafat tumbuh subur.
Sebagaimana ia katakan bahwa: “…sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah
terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epucurus, Plato,
Aristoteles dan lain-lain, mereka mendengar prilaku pengikut filsuf dan
kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan-kebaikan
prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf dibidang geometri, logika, ilmu alam
dan teologi, mereka juga mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua
syariat dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi agama. Para filsuf
meyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang
dihiasi keindahan.”
Menurut al-Ghazali, secara teoretis, akal dan syara’ tidak bertentangan
secara hakiki, karena semuanya adalah petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga,
ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan
hakikat ilmiah. al-Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan
membenarkan. Dalam kitabnya, Ihya’ Ulum ad-Din,ia menjelaskan hubungan
akal dan syara’ lebih rinci lagi. Ia menyeru penggabungan ilmu-ilmu akal dengan
ilmu-ilmu agama bahwa: “…Bodoh orang yang menyeru untuk sekadar taklid saja dan
mengesampingkan akal secara total. Tertipulah seorang yang mencukupkan dirinya
dengan akal saja dan mengabaikan cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah. Anda jangan
termasuk kedalam kedua kelompok tadi, tetapi jadilah yang menggabungkan antara
akal dan cahaya syara’. Ilmu-ilmu akal bagaikan makanan, sedangkan ilmu-ilmu
syara’ bagaikan obatnya…...”[7]
Menurut al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan al-Qur'an
bagaiakn matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lain saling membutuhkan,
kecuali orang yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan
diri dengan al-Qur’an mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan
menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya orang seperti ini dengan orang buta”.
Dengan demikian merurut al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu
kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu keyakinan
yang tidak dapat diterima oleh akal.
Al-Ghazali berpendapat bahwa tugas akal adalah untuk membenarkan syara’
lewat penetapan Pencipta alam, dan Kenabian yang diberikan kepada hamba yang
dipilih-Nya. Dalam muqaddimah kiitab al-Musthafa, ia mengatakan
bahwa “ilmu paling mulia adalah ilmu yang menggabungkan akal dan naql,
menyertakan pendapat dan syara’. Ilmu fiqh dan ushul fiqh adalah ilmu-ilmu
macam ini karena mengambil syara’ dan akal yan bersih secara bersama.” Akan
tetapi, al-Ghazali melihat dalam bidang amaliah ini ada bidang yang haram
dimasuki akal, yaitu mengetahui hukum terinci dari ibadat-ibadat syari’ah.
Al-Ghazali melihat hokum-hukum ibadah ini, aturan dan kadarnya telah ditentukan
oleh Nabi. Maksudnya, akal tidak dapat memahami mengapa sujud dalam shalat
jumlahnya dua kali lipat ruku’, shalat shubuh rakkaatnya separuh shalat ashar,
dan seterusnya. Hal ini merupakan wilayah cahaya kenabian (nur nubuwwat),
meminjam istilah yusuf Qardhawi, “bukan dengan instrument akal.”[8]
Dari uraian diatas, tampak bahwa ilmu logika (akal), menurut al-Ghazali,
merupakan instrument untuk memahami dalil-dalil syariat. Akan tetapi, akal atau
berfilsafat yang tahu akan batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk
mendapat nur yang lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi, meminjam istilah
Yusuf Qardhawi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum
secara pasti, atau paling tidak, menurut Juhana S. Praja, bahwa berfilsafat
adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; menetahui apa (mahiyah),
bagaimana dan nilai-nilaidari sesuatu itu.
D.
Filsafat al-Ghozali
Apabila mengulas beberapa buku al-Ghazali, maka kita dapat merasakan
bahwa betapa besar andilnya dalam membenarkan Islam yang berbeda dengan
pemikiran para filosof maupun teolog. Mungkin al-Ghozali sendiri tidak rela
apabila dikategorikan sebagai seorang filosof Islam, karena ia menyerang
habis-habisan, bahkan mengatakan kufur pada filsafat dan para pemukanya. Namun
dalam kenyataannya ia seorang filosof besar.
Al-Ghazali menyerang kaum filosof dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah,
karena mereka berlebihan dalam menggunakan akal, dan menetapkan sesuatu
tanpa bukti atas nama akal, disamping tidak ada dalil-dalil syara’ yang
menafikannya. Bahkan, dalam kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalal dijelaskan
bahwa orang yang mengingkari pendapat para filosof dalam hal gerhana bulan dan
matahari, dengan mengatasnamakan agama, dan mengingkari hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu pasti yang dianggap sebagai cabang filsafat lama, pada hal semua
berdasarkan pada dalil-dalil yang meyakinkannya, dan tidak ada jalan untuk
mengingkarinya.
Uraian tentang hal itu, dijelaskan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa,
bahwa Wujudullah, Qudrat, Iradat, dan Ilmu-Nya dapat ditetapkan oleh
akal. Apa yang tidak dapat ditetapkan oleh akal tidak dapat ditetapkan oleh
syara’. Demikian juga masalah penciptaan alam dan pengutusan Rasul termasuk
sifat Jaiz bagi Allah SWT. Allah berkuasa berbuat demikian dan
membuktikan kebenaran para Rasul dengan mu’jizat karena Allah tidak akan
menyesatkan hamba-hamba-Nya.[9]
Al-Ghazali memandang filsafat itu terbagi menjadi enam bagian: “Ilmu
logika, Ilmu pasti, Ilmu alam, Ilmu ketuhanan, Ilmu politik dan Ilmu Akhlak”.
Al-Ghazali tidak menghantam semua cabang filsafat kecuali filsafat ketuhanan
(metafisika), dimana para filosof amat mengagungkan peranan akal yang
mengalahkan agama dan syariat.
1.
Filsafat metafisika
Di dalam pemikiran filsafat al-Ghazali terdapat empat unsur pemikiran
filsafat yang mempengaruhi. Keempat unsur tersebut sebenarnya merupakan
hal-hal yang ditentang oleh al-Ghazali, yaitu:
a.
Unsur pemikiran kaum mutakallimin.
b.
Unsur pemikiran kaum filsafat.
c.
Unsur pemikiran kaum batiniah.
d.
Unsur pemikiran kaum sufi.
Menurut al-Ghazali terdapat beberapa filosuf yang dipandang tersebut
antara lain: Tuhan tidak memiliki sifat; Tuhan tidak memiliki substansi dan
Tuhan tidak memiliki hakikat; Tuhan tidak dapat diberi sifat; planet-planet
adalah biuntang yang bergerak dengan kemauan; hukum alam tak dapat berubah; dan
jiwa planet-planet mengetahui semua.[10]
Al-Ghazali menentang pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga
Ibnu Sina dan filosof Islam lainnya dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang
terpenting adalah:
v Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat
(Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al-Ghazali berpendapat bahwa
alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
v Al-Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles)
tentang pastinya keabadian alam itu terserah pada Tuhan semata-mata. Mungkin
alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi,
bukanlah suatu kepastian harus ada keabadian alam disebabkan oleh dirinya
sendiri di luar Iradah Tuhan.
v Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filosof bahwa
Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui
soal-soal yang kecil (Juz’iyah).
v Al-Ghazali juga menetang pendapat filosof bahwa
segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan
mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. bagi al-Ghazali segala peristiwa
yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat)
semata-mata, bukan hukum kepastian. Dalam hal ini al-Ghazali jelas menyokong
pendapat Ijraul-‘adat dari Al-Asy’ari.[11]
Tiga pemikiran filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat
berlawanan dengan islam, dan yang oleh karenanya para filosuf harus dinyatakan
sebagai orang ateis ialah: (1) Qodimnya alam, (2) tidak mengetahuinya Tuhan
terhadap soal-soal peristiwa kecil; (3) pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani.
Menurut al-Ghazali Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang terdiri
dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk
spiritual Rabbani yang sangat halus. Istilah-istilah yang digunakan
al-Ghazali dalm masalah itu adalah: qalb, ruh, nafs dan ‘aql.
Jiwa menurut al-Ghazali adalah suatu zat yang (jauharul) dan bukan
suatu keadaan atau aksiden (‘ardh), sehingga ia ada pada dirinya
sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa
berada di alam spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa menurut
al-Ghazali berasal sam dengan malaikat. Asal dan sifatnya illahiyyah,
Tidak berawal dengan waktu seperti menurut plato dan filosuf lainnya. Tiap jiwa
pribadi diciptakan Tuhan di alam atas (alam Arwah), pada saat benih
manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubangkan dengan jasad. Setelah
kematian, jasad akan musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh
dengan kematian tersebut.
Bagi al-Ghazali, jiwa yang jiwa yangf berasal dari Tuhan mempunyai
potensi kodrat, yaitu kecenderungan pada kebaikan dan keengganan pada kekejian.
Pada waktu lahir, manusia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi
malaikat. Sedangkan jasad berasal dari alam al-khalaq. Oleh karena itu,
kecenderungan jiwa pada kejahatan yang timbul setelah lahirnya nafsu sangat
bertentangan dengan tabiat aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu akan alam atas
dan ingin mendampingi para malaikat.
Mengenai kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa
Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya.
Disini, al-Ghazali berada di persimpangan sebagai Mutakallimin (kemungkinan
munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filosuf (jiwa
mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian, bantahan al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa, yang
dibantahnya adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filosuf untuk
membuktuikan kekekalan jiwa itu.
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap
jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya, jiwa dapat memperoleh bekal.
Jiwa merupakn inti hakiki manusia dan jasad adalah alat baginya untuk mencari
bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus
dirawat dengan baik.[12]
2.
Qodimnya alam
Bagi al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak bermula:
tidak pernah tidak ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadim-nya alam membawa pada
kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak dicitakan Tuhan dan ini
berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa
Tuhanlah yang menciptakan segenab alam. Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim
dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian
Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
Sebaliknya, bagi para filsuf muslim, seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka
sebagai alam yang datang dengan sendirinya. Alam itu qadim justru karena
Tuhan menciptakannya sejak zaman azali. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri
tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran
bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam,
menurut mereka, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil
berubah, dan oleh sebab itu, mustahil pula Tuhan berubah daipada awalnya tidak
atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Kerangka filosofis yang ditawarkan oleh al-Ghazali adalah
titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui bahwa Tuhan
sebagai Wujud tertinggi dan Kehendak unik yang bertindak secara aktual.
“Prinsip pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, Maha Berkehendak. Ia
bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Ia kehendaki. Ia
menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dan dalam
bentuk yang Ia kehendaki”. Dengan landasan berfikir inilah sehingga
Al-Ghazali mengatakan bahwa alam itu tidak qodim dan Tuhan yang qodim.[13]
Al-Ghazali sangat menekankan kehendak Tuhan, suatu sifat yang
mentranformasikan diri dalam potensi dan aktualitas tindakan. Meskipun
demikian, salah jika menganggap al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan
kausalitas alamiah. Menolak fakta bahwa api membakar kapas adalah sangat bodoh.
Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab
dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang nenciptakan hakikat membakar.
Jika dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali
mengklaim bahwa kemungkinan ini hanyalah area tindakan bebas Tuhan.
Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan bahwa dunia ini
kekal dan diciptakan lewat proses emanasi dengan bahan dasar yang brsifat kekal
dan yang secara terus-menerus mengambil bentukya yang berbeda. Dia menerima
pendapat bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan dari benar-benar tiada, pada waktu
yang lalu secara terbatas. Sebaliknya, menurut filosofis ajaran Aristoteles
yang dianut pula oleh Ibnu Rusyd, setiap perubahan yang terjadi harus
ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Dengan demikian, besar
kemungkinan, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, beberapa sebab
yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunya ke arah
terwujudnya keputusan itu.
Seandainya alam semesta ini dalam jumlah keseluruhannya ada, dan lagi
bukan ada untuk seterusnya, hal ini akan menimbulkan kesulitan. Hal itu berarti
tidak akan ada sesuatu diluar benak pikiran Tuhan yang dapat mempengaruhinya
dalam membuat keputusan tentang keberadaan dunia, lantaran tidak ada sesuatu
apa pun yang ada, kecuali hanya Tuhan. Dari paparan itu al-Ghazali
memberi ulasan bahwasannya Tuhan dengan mudah mewasiatkan secara abadi agar
dunia tercipta pada waktu tertentu pada masa mendatang, jika Dia menginginkan begitu.
3.
Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini
berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat Tuhan itulah yang diartikan dengan penciptaan. Iradat itu menghasilkan
ciptaan yang berganda, disatu pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak.
Penyesuaian yang kongkrit antara zarah-zarah abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradat Tuhan
itu sendiri adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakaan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk kedalam pengertian
materialis. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
atau iradat-Nya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari
segala kejadian.[14]
4.
Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat
Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal yang
juz’i/individual/ partikular) bukanlah paham yang dianut oleh filosuf Islam.
Paham ini dianut oleh Aristroteles. Kendati demikian, Al-Ghazali berupaya
menampilkan pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala
sesuatu dengan pengetahuan kulli/umum, tidak masuk dalam kategori zaman,
tidak berbeda pengetahuan-Nya karena berbedanya sesuatu itu pada zaman yang
lalu, yang akan datang , dan sekarang. Meskipun demikian ia berpendapat bahwa
tidaklah goib dari pengetahuan-Nya apa saja yang ada di langit dan di bumi
kendati sekecil atom. Hanya saja, Dia mengetahui hal-hal yang juz’i/partikular
dengan pengetahuan semacam pengetahuan kulli/umum.[15]
Setelah panjang lebar menjelaskan maksud pendapat Ibnu Sina itu,
Al-Ghazali mempunyai kesimpulan bahwa maksud pendapat demikian adalah bahwa
Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal yang juz’i, seperti tidak
mengetahui siapakah Muhammad bin Abdullah, Abu bakar Ash-shidiq, Umar Bin
Khatab, dan sebagainya. Benarkah demikian pendapat ibnu sina, atau
benarkah demikian maksud pendapatnya tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal
yang juz’i ? sebenarnya, pada pembicaraan tentang Ibnu Sina sudah jelas
bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan berkenaan dengan hal-hal juz’i
tidak seperti yang disimpulkan oleh al-Ghazali. Bagi Ibnu Sina, Tuhan
mengetahui hal-hal yang kulli, menurut kullinya, dan mengetahui
hal-hal yang juz’i menurut juz’inya, tetapi pengetahuan Tuhan
tidak seperti pengetahuan manusia. Bila pengetahuan manusia muncul setelah
memperhatikan hal-hal juz’i yang terjadi sehingga pengetahuan manusia
merupakan akibat, sedangkan hal-hal yang terjadi itu merupakan sebab bagi
munculnya pengetahuan manusia. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan Maha Suci
dari cara mendapatkan seperti itu. Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan
pengetahuan yang tidak berubah.
Hal ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tentang
sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat dipahami dengan pengertian bahwa
Tuhan telah mengetahui hal-hal yang juz’i dengan pengetahuan yang azali dan
tidak berubah, kendati hal yang juz’i itu terus menerus berubah, Tuhan
mengetahui hal-hal yang juz’i itu bukan setelah hal-hal yang juz’i itu terjadi
dan diperhatikan. Jadi, tidak benar bahwa para filosuf Muslim berpaham bahwa
Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang juz’i yang muncul pada alam
ciptaan-Nya, atau dengan kata lain tidak benar bahwa pemahaman para filosuf
Muslim tentang pengetahuan Tuhan membawa pada pengertian bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i.[16]
5.
Paham kebangkitan jasmani
Menurut al-Ghazali, gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi
SAW. tentang kehidupan diakhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohanisaja,
akan tetapi ppada kehidupan yang bersifat jasmani dan rohani. Jasad
dibangkitkan dan di satukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup didunia
untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab
neraka yang juga bersifat jasmani dan rohani, kehidupan disurga dan neraka yang
bersifat jasmani rohani itu, menurut Ghazali bukanlah sesuatu yang mustahil.
Oleh karena itu, gambaran al-Qur’an dan hadits Nabi SAW itu haruslah dipahami
secara hakiki saja.
Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka bersifat rohani saja,
menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad
di hari akhirat. Pemahaman yang demikian adalah bertentangan dengan apa yang
telah diajarkan dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW dan karena itulah sebab
dikufurkan. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan diubangkitkan adalah
jasmani. Ia berkata:
“….adalah
bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan
bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi
hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan
pahala atau hukuman itu akan bersifat spiritual dan bukanlah bersifat
jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan
hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi
secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmani
dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalm pandangan yang mereka
nyatakan itu.”
Pemahaman secara hakiki, menurut akal adalah hal yang mustahil. Oleh
karena itu, gambaran tersebut harus dipahami secara majazi. penggambarn Tuhan
tentang alam kubur/akhirat secara jasmani/materi, mereka pahami sebagai upaya
materealisasi terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan itu adalah upaya
yang layak. Penggambaran yang seperti itu adalah bijaksana.[17]
6.
Pandangan tentang Etika
Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada
ajaran tasawufnya. Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas
jalan yang benar. Berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar. Mengenai
tujuan pokok etika Al-Ghazali, kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “At-takhluq
bitakhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyyah” atau semboyannya
yang lain “al-isyafu bi-shifatirrahmani ‘ala thaqatil basyariyyah”
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru
perangai serta sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang,
pengampun/pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan seperti sabar, jujur,
taqwa, zuhud, ikhlas, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Dalam kitabnya ihya’
ulumuddin Al-Ghazali mengulas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan
mendalam sekali.[18]
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta
yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat bagi seluruh
alam. Dalam hal ini, ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik
Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif
menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia dan menganggap materi
sebagai pangkal keburukan sama sekali. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali
mengakui bahwa kebaikan tersebar dimana-mana, juga dalam materi. Hanya saja
mengenai pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan memakainya.
Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi
rohani. Diantaranya yang terpenting adalah muraqobbah, yakni merasa
diawasi terus oleh Tuhan, dan almuhasabah, yakni senantiasa mengoreksi
diri sendiri. Menurut Al-Ghazali kebahagiaan itu ada dua tingkatan, yaitu
kepuasan dan kebahagiaan. Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran
sesuatu, bertambah banyak mengetahui kebenaran itu berarti bertambah banyak
merasakan kebahagiaan.
Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi adalah mengetahui kebenaran sumber
dari segala kebahagiaan itu. Itulah yang dinamakn ma’rifatullah, yaitu
mengenal adanya Allah tanpa adanya keraguan dan dengan penyaksian hati yang
sangat yakin.[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Thusi al
Ghazali. Beliau lahir pada tahun 1058 M/450 H di kota
Ghazalah, sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan, yang pada saat itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. dan beliau
meninggal di kota Thus pada tahun 1111 M/ 14 Jumadil
Akhir 505 H pada umur 52–53 tahun.
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang sangat
produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar
negara di Mu’askar maupun ketika menjadi profesor di Baghdad, baik sewaktu
skeptis di Naisaburi maupun setelah berada dalam perjalanan mencari kebenaran
dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha
menulis dan mengarang. Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin.
Mengenai karangan al-Ghazali ini, ada penentangan dari kalangan fuqaha
dan tasawuf, diantaranya adalah Ibnu Rusyd, hal ini adalah dikarenakan
penentanga al-Ghazali terhadap para filosuf Islam, bahkan ia sampai
mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu:
1.
Penginkaran terhadap kebangkitan jasmani.
2.
Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja.
3.
Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.
B. Saran
Mempelajari filsafat bukanlah sesuatu yang bisa dianggap mudah, apalagi hanya
dengan mempelajari sekilas saja, tentu tidaklah banyak hal yang dapat kita
petik. Begitu juga mempelajari filsafat al-Ghazali, karena kita tahu banyak
sekali kitab-kitab karya al-Ghazali yang berisikan tentang kritikan dan
penentangan terhadap para filosuf.
DAFTAR PUSTAKA
D. Sirojuddin, 2003. Ensiklopedi
Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Supriyadi, Dedi, 2009. pengantar
filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Musthofa, 2009. Filsafat Islam, Bandung:
Pustaka Setia.
Smith,
Margareth, 2000. pemikiran dan doktrin mistis Imam al-Ghazali, Jakarta:
Riora cipta.
Sudarsono, 2004. filsafat
Islam, Jakarta: Rineka Cipta.
[1]
D. Sirojuddin Ar, Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 25.
[2]
Margareth Smith, pemikiran dan doktrin mistis Imam al-Ghazali, (Jakarta:
Riora cipta, 2000), h. 2
[3]
Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), h. 146
[5]
Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), h. 220
[6]
Ibid.,h. 221
[7]
Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam,h.
156
[9]
Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam,h. 157
[10]
Sudarsono, filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 70
[11]
Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 228
[12]
Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam,h. 174
[13]
Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Ilmu,h. 162
[14]
Musthofa, Filsafat Islam, h. 229
[15]
Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Ilmu,h. 170
[16]
Ibid.,h. 171
[18]
Sudarsono, filsafat Islam, h. 71
[19]
Musthofa, Filsafat Islam, h. 241v
No comments:
Post a Comment