BAB
I
PENDAHULUAN
Studi Teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam
diberi nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam
adalah ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt,
wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang
diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.
Teologi, sebagai mana diketahui membahas
ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk
beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam
agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan
berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diumbang-ambing oleh
peredaran zaman. Istilah “Theology Islam” sudah lama dikenal oleh
penulis-penulis Barat. Teologi dari segi etimologi mempunyai pengertian “Theos”
artinya Tuhan dan “Logos” artinya ilmu (science, studi, discourse). Jadi
teologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu “Ketuhanan”.[1]
Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilm al kalam, teolog dalam Islam diberi
nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.[2]
Baca Selengkapnya.....
Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.[3] Teologi lebih luas pandangannya dari pada fikih. Kalau fikih membahas soal haram dan halal, teologi di samping soal ke Tuhan-an membahas pula soal iman dan kufur; siapa yang sebenarnya Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari Islam. Termasuk dalam pembahasan itu soal Muslim yang mengerjakan hal-hal yang haram dan soal kafir yang mengerjakan hal-hal yang baik. Dengan demikian teologi membahas soal-soal dasar dan soal pokok dan bukan soal furu’ atau cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih. Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran dari tinjauan hukum atau fikih.[4]
Sebelum kajian teologi (ilmu kalam) lahir
sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri, menurut Imam Abu Hanifah ia termasuk
dalam Al-Fiqhul Akbar atau juga disebut dengan Al-Fiqhud Din.[5]
Sebutan Ilmu Kalam yang berdiri sendiri sebagai suatu ilmu sebagaimana yang
kita kenal sekarang untuk pertama kalinya lahir pada masa khalifah Ma’mun (218
H). Dengan demikian Ilmu Kalam (Teologi) lahir melalui masa yang panjang.
Kehadirannya didorong oleh berbagai faktor yang mendahului baik yang terjadi
dalam tubuh kaum muslimin sendiri, maupun faktor yang datang dari luar. Untuk penentuan
lapangan dan corak pembahasan, perkataan “Teologi” dibubuhi dengan keterangan
kualifikasi, seperti “teologi filsafat”, “teologi masa kini” (contemporary
theology), “teologi kristen”, “teologi katholik” bahkan dibubuhi dengan
kualifikasi lebih terbatas, seperti “teologi wahyu” (revealed theology),
“teologi polemik”, “teologi pikiran” (teologi yang berdasarkan pikiran=rational
theology) “teologi sistematika” dan seterusnya. Ringkasnya, teologi adalah ilmu
yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik
berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.[6]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan dan
Perkembangan Kajian Teologis dalam Islam
Pada zaman Rasul saw sampai masa pemerintahan Usman bin
Affan (644-656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul.
Problema itu baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M)
dengan munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena
tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam
menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada
waktu perang Shiffin.[7]
Harun Nasution mengikuti Asy
Syahrastani dalam pengungkapannya bahwa persoalan politik merupakan alasan
pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam.[8]
Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang tidak didasarkan
kepada al Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak
memutuskan hukum dengan al Qur’an adalah kafir. Dengan demikian orang yang
melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat
sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena
mereka murtakib al Kabirah atau “pendosa besar”.[9]
Dalam perkembangan selanjutnya
Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan al
Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka
adalah kafir. Pendapat ini mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain
sehingga muncul aliran baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat
aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin.
Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak.
Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang
berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di
antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).[10]
Masuknya filsafat Yunani dan
pemikiran rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh
besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam.
Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal
di tempat yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan
pendapat kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun
terjadi dan mencapai puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh
dinasti Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan
pendukung aliran Mu’tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memberikan
pelajaran terhadap kelompok ahli hadis karena keteguhan mereka untuk
mempertahankan bahwa Alquran bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin
merajalela, khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di
Baghdad antara kelompok ahli hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan
keamanan di ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berupaya
mendapatkan dukungan kaum Syi’ah tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap
bermusuhan terhadap ahli hadis. Alquran sebagai topik kontroversial mungkin
lebih merupakan alasan yang diciptakan guna memberikan casus belli terhadap
tokoh-tokoh ahli hadis.
Hal ini akan menjadi jelas kalau
diperhatikan berkobarnya debat dan diskusi antara golongan Mu’tazilah dan para
penentang mereka, terutama ahli hadis. Juga tindakan-tindakan yang berlebihan
oleh unsur-unsur ahli hadis terhadap kelompok Mu’tazilah semasa pemerintahan
Harun ar-Rasyid telah mengundang reaksi, semacam penebusan. Kecenderungan ini
menjadi lebih memungkinkan berkat dukungan yang diberikan para pembantu
khalifah, baik karena dasar politik maupun ideologis.[11]
Khalifah al Makmun melaksanakan mihnah (inkuisisi) di kalangan aparat
pemerintah yang bertujuan memberlakukan paham bahwa Alquran adalah makhluq.
Ketika masalah itu ditanyakan kepada Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas ia
menentang paham tersebut. Karena berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad
dipenjarakan pada tahun 218 H. Bahkan ia terus mempertahankan pendapatnya,
meskipun banyak di antara para perawi hadis pada masa itu yang lantas
sependapat dengan al Makmun
Baru pada tahun 233 H kebijaksanaan
mihnah dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dan Ahmadpun dibebaskan. Abu
Ya’qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti (w. 231 H), murid terbesar asy Syafi’i, di
akhir hayatnya menjadi korban mihnah (inkusisi) karena mempertahankan
pendapatnya bahwa Alquran bukan makhluq (tidak diciptakan, karena Alquran
adalah kalam Allah, sedangkan Allah SWT adalah pencipta). Ia kemudian dipenjara
hingga wafat.[12]
Al Mutawakkil naik tahta pada tahun 232/847 melalui berbagai intrik dan
persaingan di kalangan para perwira Turki. Tindakannya yang perlu dicatat
adalah menghentikan mihnah dan pembicaraan mengenai apakah Alquran makhluq atau
tidak. Kaum Mu’tazilah yang semula mempunyai pengaruh besar atas istana, tidak
lagi mendapatkan tempat istimewa. Sebaliknya kaum ahli hadis yang semula mendapatkan
banyak kesulitan dengan adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak
berarti bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh sebelumnya
atas para khalifah.[13]
Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada akhirnya berwujud
dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan nama Ahlussunnah
waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan abu Mansur al
Maaturidi.
Terkecuali beberapa aliran teologi
sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa aliran teologi dalam Islam
seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan
Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang pada masa lampau. Sekarang yang dianut
mayoritas umat Islam adalah aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman
menganut paham moderat Murji’ah. Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal
dari Islam abad kedua belas itu masuk kembali ke dunia Islam abad kesembilan
belas dan kedua puluh, dan menghidupkan kembali pemikiran rasional Mu’tazilah
masa silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah dari sejak semula tetap menganut aliran
rasional dan filosofis Mu’tazilah. Inilah salah satu sebab yang membawa
golongan intelektual muda Islam di Indonesia tertarik kepada buku-buku yang
dikarang penulis-penulis Syi’ah. Tulisan-tulisan para pengarang al Asy’ariah
pada umumnya bercorak tradisional deskriptif dan jarang bercorak analisis
rasional apalagi filosofis.
Fazlur Rahman membenarkan bahwa
aliran-aliran teologi semata-mata semakin menjadi bertambah bertentangan dalam
pengertian teoritis.[14]
Selanjutnya akhir-akhir ini muncul gagasan dari sebagian pakar di Indonesia
yang menghendaki agar diadakan kajian terhadap teologi yang lebih memusat pada
manusia (antropo centris) dan bukan teologi yang terlalu memusat pada Tuhan
(theo centris). Untuk ini perlu adanya pembaharuan teologi, yaitu pemikiran
keagamaan yang merefleksikan respons manusia terhadap wahyu Allah. Meskipun di
kalangan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, pembaharuan teologi ini
kurang populer karena cara berfikir fiqh telah begitu mapan di kalangan umat
Islam Indonesia, tetapi walau bagaimanapun pembaharuan teologi mesti dilakukan
kalau umat Islam ingin menerapkan ajaran Islam dalam kerangka kehidupan sosial
yang baru dan dalam kerangka budaya universal sebagai pedoman dalam merumuskan
konsep-konsep hidupnya.[15]
Gagasan untuk mencari dan memilih
(antropo centris) sebagaimana dikehendaki itu sebenarnya terdapat dalam teologi
Mu’tazilah. Mu’tazilah misalnya menganut paham Qadariyah yang mengatakan bahwa
manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan untuk berbuat sesuai
dengan kehendaknya. Perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatannya
sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Paham serupa ini mendorong manusia
menjadi kreatif dan dinamis, bertanggung jawab dan berani mengambil inisiatif.
Sikap manusia yang demikian ini sejalan dengan pola hidup modern. Demikian pula
paham Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan adalah sangat mengandung pesan anthropo
centris itu. Menurut paham ini Tuhan harus berbuat sesuai dengan kesanggupan
yang ada pada manusia, dan tidak boleh berbuat di luar kesanggupan manusia itu.
Manusia juga dianggap dapat menentukan baik dan buruk berdasarkan
kreatifitasnya sendiri, tanpa menunggu komando wahyu dari Tuhan.
Sebaliknya adanya dominasi teologi
Asy’ariyah dengan beberapa karakteristiknya mendorong sementara pengamat dan
peneliti mengambil kesimpulan, bahwa aliran teologi ini bertanggung jawab atas
keterbelakangan sosial-ekonomi kaum muslim di Indonesia. Aliran Asy’ariyah yang
bersifat Jabariyah (predestinasi) dipandang telah melemahkan etos
sosial-ekonomi umat Islam, sehingga mereka lebih cenderung menyerah kepada
takdir daripada melakukan usaha-usaha kreatif untuk memperbaiki dan memajukan
diri dan masyarakat mereka. Dalam segi-segi tertentu argumen bahwa paham
teologi semacam Asy’ariyah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam masyarakat
Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis, anggapan atau argumen itu
mungkin benar. Namun, pada tingkat praktis dan empiris, boleh jadi terdapat
kenyataan lain yang berlawanan dengan asumsi teoritis tersebut.[16]
B.
Islam
Sebagai Sumber Kepercayaan
Islam sebagai sumber kepercayaan bagi manusia tidak diragukan
lagi eksistensinya sebagai suatu sumber kepercayaan dan mengandung nilai-nilai.
Di samping berdimensi berpikir, maka manusia juga berdimensi percaya.
Kepercayaan ialah : (1) anggapan dan sikap bahwa sesuatu itu benar, (2) sesuatu
yang diakui sebagai benar.[17]
Kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup tanpa kepercayaan apapun.
Kepercayaan kepada sesuatu zat atau kekuatan dan memeluk kepercayaan itu
merupakan sesuatu yang alami pada manusia dan merupakan kebutuhan jiwa yang
selalu membayangi manusia sepanjang hidupnya. Karena itu kebutuhan itu harus
dipenuhi, seperti kebutuhan-kebutuhan jiwa yang alamiyah yang lain.
Al Qur’an pada pokoknya merupakan agama dan etika yang
menitikberatkan pada tujuan praktis penciptaan kebaikan moral dan membangun
masyarakat manusia yang benar dan beragama dengan kesadaran ber-Tuhan secara
tegas dan bersemangat, yang memerintahkan berbuat baik dan melarang berbuat
dosa.[18]
Islam sebagai sumber kepercayaan mempunyai karakteristik yang
membuatnya menjadi risalah Tuhan yang terakhir dan menjadi agama yang diridhai
Allah untuk dunia dan seluruh ummat manusia sampai datangnya hari Kiamat, dan
membedakannya dengan agama-agama lain. Secara ringkas karakteristik yang
dimiliki Islam, yaitu mengajarkan kesatuan agama, kesatuan politik, kesatuan
sosial, agama yang sesuai dengan akal fikiran, agama fitrah dan kejelasan,
agama kebebasan dan persamaan, dan agama kemanusiaan.[19]
Beberapa aliran teologi berbeda-beda dalam memahami konsep
iman. Ada yang mengandung unsur tashdiq saja yaitu meyakini akan adanya Allah,
dianut oleh mazhab Murji’ah dan sebagian kecil Asy’ariah. Ada yang mengandung
unsur tashdiq dan ikrar yaitu mengucapkan apa yang diyakininya itu dengan
lidah, dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah. Ada yang menambahnya dengan
unsur amaliyah yaitu iman yang telah ditashdiqkan dengan hati, diikrarkan
dengan lisan kemudian dibuktikan dengan perbuatan, dianut oleh Mu’tazilah,
Khawarij dan lain-lain.[20]
C.
Aliran
Utama dan Pendekatannya
Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa
besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad dan oleh
karena itu wajib dibunuh.
Aliran ke dua ialah aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa
orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal
dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah swt untuk mengampuni atau tidak
mengampuninya.
Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ke tiga tidak menerima
pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir
tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini menurut mereka mengambil posisi
di antara dua posisi mukmin dan kafir yang dalam bahasa Arabnya terkenal dengan
istilah al manzilah bain al manzilatain (posisi di antara dua posisi). Kelompok
netral politik yang bernama Mu’tazilah ini berpendapat bahwasannya pelaku dosa
besar bukanlah sebagai muslim sekaligus juga bukan sebagai kafir, melainkan
mereka berada di antara keduanya dan mereka tetap merupakan bagian dari
komunitas Muslim.[21]
Mu’tazilah dipandang sebagai aliran pertama dalam konteks teologi yang
sebenarnya, lebih lanjut karena aliran ini berusaha menerapkan rasio terhadap
segala permasalahan dan lantaran mereka menggunakan argumen, rasio dan
dialektik. Dengan menggunakan metode tertentu, mereka mengadakan generalisasi
seluruh jawaban yang dipegangi sebagai dogma. Sekalipun sekilas solusi
Mu’tazilah ini dalam beberapa cara berbeda dengan ortodoks, namun aliran ini
tidak tampil sebagai yang mencerminkan pemahaman yang memadai terhadap realitas
spiritual, dan aliran ini mendorong ketekunan terhadap objek-objek kajian dari
kalangan pemikir-pemikir keIslaman. Sekitar abad ke 4 H/10 M Mu’tazilah
mencapai banyak kemajuan.[22]
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam
teologi yang terkenal dengan nama al qadariah dan al jabariah. Menurut Qadariah
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah
Inggerisnya free will dan free act. Jabariah, sebaliknya berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia
dalam segala tingkah lakunya, menurut faham Jabariah bertindak dengan paksaan
dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham itulah yang
disebut paham predestination atau fatalism.[23]
Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar
Tuhan.
Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya
buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab,
terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi
dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Pemakaian dan kepercayaan pada rasio ini
dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan teologi Islam dan dengan demikian
teologi mereka mengambil corak teologi liberal, dalam arti bahwa sungguhpun
kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Dalam pemikiran-pemikiran mereka selamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam
Islam. Sudah barang tentu bahwa dalam soal Qadariah dan Jabariah di atas,
sebagai golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk
berfikir, kaum Mu’tazilah mengambil faham Qadariah.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi
tradisionil yang disusun oleh Abu al Hasan al Asy’ari (935 M). Al Asy’ari
sendiri pada mulanya adalah seorang Mu’tazilah tetapi kemudian menurut
riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah dicap
Nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al Asy’ari meninggalkan
ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal
dengan nama teologi al Asy’ariah atau al Asya’irah. Menurut suatu riwayat,
ketika Al Asy’ari mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dari orang
banyak di rumahnya selama 15 hari, dimana kemudian ia pergi ke mesjid besar
Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham
aliran Mu’tazilah, antara lain: Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala, manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan
keburukan. Kemudian ia mengatakan sebagai berikut: “Saya tidak lagi mengikuti
paham-paham tersebut dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahannya.”[24]
Al Asy’ari meninggalkan aliran Mu’tazilah selain karena merasa tidak puas
terhadap konsepsi aliran tersebut, juga karena ia melihat ada perpecahan di
kalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka kalau tidak segera diakhiri.
Di samping aliran Asy’ariah timbul puid seperti Al la di
Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian
terkenal dengan nama teologi Maturidiah tidaklah bersifat se-tradisionil aliran
Asy’ariah, akan tetapi tidak pula se-liberal aliran Mu’tazilah. Sebenarnya
aliran ini terbagi dua: cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang
Bukhara yang bersifat tradisionil. Selain dari Abu al Hasan Al Asy’ari dan Abu
Mansur al Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud untuk
menentang ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al Tahawi (w. 933
M) dan sebagaimana halnya dengan al Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hanifah,
Imam dari mazhab Hanafi dalam lapangan hukum Islam. Tetapi ajaran-ajaran al
Tahawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul
dalam Islam ialah aliran Khawarij, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah.
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali
dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariyah
dan Maturidiah dan keduanya disebut ahl Sunnah wa al Jama’ah. Aliran Maturidiah
banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariah
pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya. Dengan masuknya kembali
faham rasionalisme ke dunia Islam, yang kalau dahulu itu masuknya melalui
kebudayaan Yunani Klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern,
maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama sekali di kalangan
kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah
mulai dipakai dalam tulisan-tulisan Islam.[25]
Dalam hal memberikan penjelasan terhadap pendekatan tentang
teologi Islam, penulis belum mendapatkan buku rujukan yang konkrit mengenai hal
tersebut. Tetapi mendekatkan kita kepadanya mungkin penulis bisa menggambarkan
maupun menerangkan pendekatan yang ada pada literatur lain. Untuk memahami
maupun meneliti teologi Islam diperlukan beberapa pendekatan di antaranya:
pendekatan historis; sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek,
latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.[26]
Dengan memahami teologi dari pendekatan sejarah seseorang akan melihat
sebab-sebab timbulnya aliran-aliran teologi dalam Islam yang berawal dari
persoalan politik dan bukan persoalan agama. Selanjutnya pendekatan bahasa
(etimologi) dan istilah (terminologi), untuk memahami istilah-istilah yang
berkaitan dengan kajian teologi Islam. Seperti istilah Khawarij dan Mu’tazilah
dengan pendekatan bahasa dan istilah kita akan mengetahui makna dari Khawarij
dan Mu’tazilah tersebut dan istilah-istilah lainnya. Kemudian pendekatan studi
tokoh, tujuannya mempelajari kronologis tokoh-tokoh aliran teologi dalam Islam,
hal-hal yang mempengaruhi pemikiran mereka dan pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh
setelahnya. Yang tidak kalah pentingnya ialah pendekatan komparatif, munculnya
aliran-aliran tersebut salah satunya karena adanya konsep pemikiran yang
berbeda antara satu aliran dengan aliran yang lain sehingga menimbulkan konsep
pemikiran dan aliran baru. Contohnya konsep pemikiran Khawarij tentang pelaku
dosa besar adalah kafir menimbulkan konsep pemikiran baru bahwa pelaku dosa
besar bukan kafir tetapi tetap mukmin yang dianut oleh aliran Murji’ah.
a.
Aliran Khawarij
Aliran ini
lahir bersamaan dengan lahirnya Syi’ah yakni pada masa Ali bin Abi Thalib r.a.
Orang-orang Khawarij dulunya adalah pendukung Ali, meskipun demikian Syi’ah
datang lebih dahulu dari pemikiran Khawarij.[27]
Timbulnya aliran ini adalah akibat dari peristiwa tahkim (arbitrase), Khawarij
menghukum para peserta tahkim sebagai orang-orang yang telah menjadi kafir. Di
antara tokoh-tokoh Khawarij yang terpenting adalah; Abdullah bin Wahab al
Rasyidi, pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura (pemimpin
Khawarij pertama), Urwah bin Hudair, Mustarid bin Sa’ad, Hausarah al Asadi,
Quraib bin Maruah, Nafi’ bin al Azraq (pemimpin al Azariqah), Abdullah bin
Basyir, Zubair bin Ali, Qathari bin Fujaah, Abd al Rabih, Abd al Karim bin
Ajrad, Ziad bin Asfar dan Abdullah bin Ibad. Tokoh-tokoh tersebut masing-masing
memimpin sekte-sekte dalam aliran Khawarij. Sekte-sekte tersebut di antaranya
ialah Muhakkimah, Azariqah, Najdat, Bahaisiyah, Ajaridah, Tsalabah, Ibadhiyah,
dan sufriyah.[28]
b.
Aliran Murji’ah
Pemimpin
utama mazhab Murji’ah ialah Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Sallat al Samman, dan
Dirar bin Umar. Untuk mendukung perjuangan Murji’ah dalam mengembangkan
pendapatnya pada zaman bani Umayyah muncul sebuah syair terkenal tentang
i’tikad dan keyakinan Murji’ah yang digubah oleh Tsabiti Quthnah.[29]
Tokoh Murji’ah yang moderat antara lain adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib. Sedangkan yang ekstrem antara lain ialah Jaham bin Shafwan.
Ajaran-ajaran pokok Murji’ah dapat disimpulkan sebagai berikut: iman hanya
membenarkan (pengakuan) di dalam hati; orang Islam yang melakukan dosa besar
tidak dihukumkan kafir, muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua
kalimah syahadat; dan hukum terhadap perbuatan manusia ditangguhkan hingga hari
kiamat.
c.
Aliran Mu’tazilah
Tokoh
aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan
ajaran-ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau
tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran
sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua yaitu aliran
Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Bagdad. Tokoh-tokoh aliran Basrah
antara lain.[30]
Wasil bin ‘Ata (80-131 H/699-748 M), al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M), an
Nazzham (wafat 231 H/845 M), dan al Jubbai (wafat 303 H/915 M). tokoh-tokoh
aliran Bagdad antara lain Bisyr bin al Mu’tamir (wafat 226 H/840 M), al Khayyat
(wafat 300 H/912 M). Kemudian pada masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul
Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M).
Ajaran-ajaran pokok Mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yang diurutkan
menurut kedudukan dan kepentingannya, yaitu: keesaan (at tauhid), keadilan (al
‘adlu), janji dan ancaman (al wa’du wal wa’idu), tempat di antara dua tempat
(al manzilatu bainal al manzilataini), menyuruh kebaikan dan melarang keburukan
(amar ma’ruf nahi munkar).[31]
d.
Aliran Asy’ariah
Suatu unsur
utama bagi kemajuan aliran Asy’ariah, ialah karena aliran ini mempunyai
tokoh-tokoh kenamaan yang mengkonstruksikan ajarannya atas dasar filsafat
metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain; al Baqillani (wafat 403 H), Ibnu
Faurak (wafat 406 H), Ibnu Ishak al Isfaraini (wafat 418 H), Abdul Kahir al
Bagdadi (wafat 429 H), Imam al Haramain al Juwaini (wafat 478 H), Abdul
Mudzaffar al Isfaraini (wafat 478 H), al Ghazali (wafat 505 H), Ibnu Tumart
(wafat 524 H), as Syihristani (wafat 548 H), ar Razi (1149-1209 M), al Iji
(wafat 756 H/1359 M), dan as Sanusi (wafat 895 H).41 Al Asy’ari banyak
meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih 90 buah dalam berbagai lapangan
ilmu keIslaman. Karangan-karangannya yang terkenal dan sampai kepada kita ada
tiga yaitu; Mawalatul Islamiyyin: kitab ini ditulis al Asy’ari sebelum ia
keluar dari Mu’tazilah, di dalamnya berisi paham berbagai golongan kaum
muslimin dan berbagai masalah teologi, al Ibanah ‘an Usulid Diyanah: kitab ini
berisi pokok-pokok pikiran akidah Ahlussunnah waljamaah, dan al Luma’ fi al
Radd ‘ala Ahl al Ziyaq wa al Bida’: kitab ini juga berisi pandangan dan ajaran
al Asy’ari mengenai ilmu kalam dan jawaban serta sorotan terhadap bantahan
pihak lawan.[32]
e.
Aliran Maturidiah
Pengikut dan
tokoh besar Maturidiah adalah Abu al Jasr Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim
al Bazdawi (421-493 H). Tokoh ini banyak berjasa dalam perkembangan aliran al
Maturidiah. Al Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari
mereka ialah Najm al Din Muhammad al Nasafi (460-537 H), pengarang buku al
‘Aqa’id al Nasafiah. Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran
Maturidiah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku
yang banyak membahas soal sekte-sekte seperti buku-buku al Syahrastani, Ibn
Hazm, al Bagdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al
Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Seterusnya ada pula karangan-karangan
mengenai pendapat-pendapat al Maturidi yaitu Risalah Fi al ‘Aqa’id dan Syarh al
Fiqh al Akbar. Keterangan-keterangan mengenai pendapat-pendapat al Maturidi
dapat diperoleh lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh
pengikut-pengikutnya seperti Isyarat al maram oleh al Bayadi dan Usul al Din
oleh al Bazdawi.[33]
Karena pendapat al Bazdawi tidak sama dengan pemikiran al Maturidi maka aliran
Maturidiah dibagi menjadi dua bentuk: Maturidiah Samarkand yaitu pengikut al
Maturidi sendiri, dan Maturidiah Bukhara yaitu pengikut-pengikut al Bazdawi.
Kalau golongan Samarkand mempunyai faham-faham yang lebih dekat kepada faham
Mu’tazilah dan dikategorikan bahkan tokoh utama Ahlussunnah waljamaah, golongan
Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat
al Asy’ari.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Teologi (Theos/Tuhan+Logos/Ilmu) merupakan
rangkaian ilmu tentang Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering
dipakai oleh penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi
mempunyai kesamaan dengan ilmu Kalam. Beberapa istilah yang mempunyai
keterkaitan dengan teologi/ilmu kalam di antaranya ialah istilah tawhid, kalam
dan ushul al din. Awal mula lahirnya ilmu kalam menumbuhkan beberapa aliran
teologi sebagai akibat dari persoalan politik yang muncul pada saat
pengangkatan Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah.
Pada perkembangannya aliran-aliran teologi tersebut hanya beberapa yang
bertahan sampai sekarang seiring dengan perkembangan pemikirannya
masing-masing.
Islam sebagai sumber kepercayaan memberikan
kebebasan kepada akal untuk memahami ajaran-ajaran Islam. Aliran-aliran teologi
Islam juga memakai kekuatan akal untuk memahami ajaran Islam. Aliran-aliran
utama dalam teologi Islam di antaranya adalah aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah yang masing-masing mempunyai beberapa
kesamaan dan perbedaan terhadap pemikiran-pemikiran paham mereka. Beberapa
pendekatan untuk meneliti aliran-aliran teologi ini di antaranya adalah
pendekatan historis (sejarah), pendekatan bahasa (etimologi) dan istilah
(terminologi), pendekatan studi tokoh, dan pendekatan komparatif.
Tokoh-tokoh dalam aliran teologi tersebut
meskipun berada dalam satu aliran tetap saja berbeda dalam pokok-pokok
ajarannya yang akhirnya menimbulkan perpecahan. Seperti aliran Maturidiah
terpecah menjadi Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Beberapa tokoh
telah menghasilkan beberapa karya yang ditulis dalam sebuah kitab agar
pemikirannya maupun ajaran-ajarannya dapat terus dikembangkan oleh tokoh-tokoh
setelah mereka.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1980
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap
wacana dan Praktis Harun Nasution, Jakarta: Ciputat Pers, 2001
Al-Syahrastani, Al Milal wa al Nihal, Mesir: Musthafa al Baby al Halaby,
1967
Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Islam
(Ensiklopedi Islam Ringkas), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002
Dawam Rahardjo, Umat Islam dan Pembaharuan Teologi; dalam
Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: LEPPENAS, 1985
Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1992
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi
tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1983
------------------- Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II,Jakarta: UI-Press, 1985
Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994
Salihun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996
Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern
Yogyakarta: LESFI, 2002
[1] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1980), h. 11
[2] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1983), h. ix.
[3] Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), h. 23.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, h. xii.
[5] Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam, h. 24.
[6] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, h. 12.
[7] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993),
h. xv.
[8] Abdul Halim, Teologi Islam Rasional; Apresiasi terhadap
wacana dan Praktis Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), h. 121. Lihat
juga: Harun Nasution. Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, II, h. 31.
[9] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam:
Analisis Semantik Iman dan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 4.
[10] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. xvi.
[11]Harun Nasution, et.al., Ensiklopedi Islam Indonesia
(Jakarta: Djambatan, 1992), h. 746-7.
[12] Taufik Abdullah….(et.al)., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h. 236&238
[13] Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik
Hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 112
[14] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam; Studi
tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 69.
[15] Dawam Rahardjo, Umat Islam dan Pembaharuan Teologi; dalam
Aspirasi Umat Islam Indonesia, (Jakarta: LEPPENAS, 1985), cet. I. h. 119
[16] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia; Pengalaman
Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 45&46.
[17] Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1992), h. 23.
[18] Fazlur Rachman, Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
133.
[19] Muhammad Yusuf Musa, Islam; Suatu Kajian Komprehensif, h.
14.
[20] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 157.
[21] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam; bag.
Kesatu&dua, Terjemahan: Ghufron A. Mas’adi. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 159.
[22] Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Islam
(Ensiklopedi Islam Ringkas), Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 202
[23] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, h. 9
[24] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Ibid, h. 10.
[25] Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka
firdaus, 1987), h. 105.
[26] Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka
firdaus, 1987), h. 105.
[27] Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyah fi al Siyasah
wa al Aqa’id, Sejarah Aliran-aliran dalam Islam; Bidang Politik dan Aqidah,
alih bahasa: Drs. Shobahussurur. (Gontor, Ponorogo: Pusat Studi Ilmu dan Amal,
1991), h. 75
[28] Al-Syahrastani, Al Milal wa al Nihal, (Mesir: Musthafa al
Baby al Halaby, 1967), h. 74
[29] Ahmad Amin, Dhuha al Islam, (Mesir: al Nahdhah al
Mishriyyah, 1936), h. 328.
[30] A. Hanafi, Pengantar Thaology Islam, h. 70
[31] Ibid, h. 75
[32] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, h. 122-123
[33] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, h. 76
How to Make a Casino Deposit at a Casino – JTM Hub
ReplyDeleteCasino 경상남도 출장마사지 games 바카라 조작 are 강릉 출장샵 simple: you buy tickets. Then you need to deposit and make your first deposit to start playing. When you 충주 출장안마 click on the 동해 출장마사지